A. IJARAH
1. Pengertian Ijarah
Ijarah, menurut bahasa, adalah al-itsabah (memberi upah). Misalnya aajartuhu, baik dibaca panjang atau pendek, yaitu memberi upah. Sedangkan menurut istilah fiqih ialah pemberian hak pemanfa’atan dengan syarat ada imbalan. (Fathul Bari IV: 439).
Definisi ijarah menurut pendapat beberapa ulama fiqih, yaitu :
a). Ulama hanafiah, Artinya akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti.
b). Ulama Asy-Syafi’iya, Artinya akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolhan dengan penganti tertentu.
c). Ulama Malikiah dan Hanabilah, Artinya: Menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti.
2. Dasar Hukum
Al-Qur’an :
“Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya.” (QS Ath-Thaalaq: 6).
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, Ya Bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang peling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (QS Al-Qashash: 26).
“Kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidr menegakkan dinding itu, Musa berkata, Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu.”(QS Al-Kahfi: 77).
Al Hadist
Dari Aisyah ra, dia berkata “Nabi saw bersama Abu Bakar ra pernah mengupah seorang laki-laki dari Bani Dail sebagai penunjuk jalan yang mahir. Al-Khirrit ialah penunjuk jalan yang mahir.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1409 dan Fathul Bari IV: 442 no: 2263)
3. Rukun Ijarah
1. Mu’jar (orang/barang yang disewa)
2.Musta’jir (orang yang menyewa)
3.Sighat (ijab dan qabul)
4.Upah dan manfaat
Sebagai sebuah transaksi (akad) umum , ijarah baru dianggap sah apabila telah memenuhi rukun dan syaratnya.
Adapun syarat akad ijarah adalah
Yang menyewakan dan yang menyewa haruslah orang yang berakad, adalah telah baligh, dan berakal sehat (Mazhab Syafi’i dan Hambali). Dengan demikian apabila orang itu belum atau tidak berakal, seperti anak kecil atau orang gila, menyewakan hartanya, atau diri mereka sebagai buruh (tenaga dan ilmu boleh disewa), maka ijarahnya tidak sah. Berbeda dengan Mazhab Hanafi dan Maliki mengatakan, bahwa orang yang melakukan akad, tidak harus mencapai usia baligh, tetapi anak yang telah mumayyiz pun boleh melakukan akad ijarah dengan ketentuan, disetujui oleh walinya.
Kedua belah pihak yang melakukan akad menyatakan, kerelaannya untuk melakukan akad ijarah itu. Apabila salah seorang diantara keduanya terpaksa melakukan akad, maka akadnya tidak sah. Sebagai landasannya adalah firman Allah : “Hai orang ynag beriman, janganlah kamu saling memakan harta kamu dengan cara yang bathil, kecuali melalui suatu perniagaan yang berlaku suka sama suka… (An-Nisa : 29)
Manfaat yang akan diambil dari barang tersebut harus diketahui secara jelas oleh kedua belah pihak. Misalnya aka nada orang yang menyewa sebuah rumah. Si penyewa harus menerangkan secara jelas kepada pihak yang menyewakan, apakah rumah tersebut mau ditempati atau dijadikan gudang. Dengan demikian si pemilik rumah akan mempertimbangkan boleh atau tidak disewa. Sebab resiko kerusakan rumah antara dipakai sebagai tempat tinggal berbeda dengan dipakai sebagai gudang. Demikian pula jika barang yang disewakan itu sapi, haris dijelaskan untuk menarik gerobak atau membajak sawah.
Objek ijarah itu dapat diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak ada cacatnya. Oleh sebab itu ulama fiqih sepakat mengataka bahwa tidak boleh menyewakan sesuatu yang tidak dapat diserahkan, dimanfaatkan langsung oleh penyewa. Umpamanya, rumah atau took harus siap pakai atau tentu saja sangat bergantung kepada penyewa apakah dia mau melanjutkan akad itu atau tidak. Sekiranya rumah itu atau toko itu disewa oleh orang lain., maka setelah habis sewanya, baru dapat disewakan kepada orang lain.
Objek ijarah itu sesuatu yang dihalalkan oleh syara’. Oleh sebab itu ulama fiqih berpendapat, bahwa tidak boleh menggaji tukang sihir, tidak boleh menyewa orang untuk membunuh (pembunuh bayaran), tidak boleh menyewakan rumah untuk tempat berjudi atau tempat prostitusi (pelacuran), demikian juga tidak boleh menyewakan rumah kepada non muslim untuk tempat mereka beribadah.
Objek ijarah merupakan sesuatu yang bisa disewakan seperti rumah, mobil, hewan tunggangan dan lain-lain.
Upah/sewa dalam akad ijarah harus jelas, tertentu dan bernilai harta. Namun tidak boleh barang yang diharamkan oleh syara’.
4. Sifat dan Hukum Akad Ijarah
Ulama fiqih berpendapat, apakah objek ijarah bersifat mengikat atau tidak??
Ulama Mazhab Hanafi berpendapat, bahwa akad ijarah itu bersifat mengikat kedua belah pihak, tetapi dapat dibatalkan secara sepihak, apabila terdapat uzur seperti meninggal dunia atau tidak dapat bertindak secara hokum seperti gila.
Jumhur ulama berpendapat, bahwa akad ijarah itu bersifat mengikat, kecuali ada cacat atau barang itu tidak dapat dimanfaatkan.Sebagai akibat dari pendapat yang berbeda ini adalah kasus, salah seorang yang berakad meninggal dunia.
Menurut Mazhab Hanafi, apabila salah seorang meninggal dunia, maka akad ijarah menjadi batal, karena manfaat tidak dapat diwariskan kepada ahli waris.
Menurut Jumhur Ulama, akad itu tidak menjadi batal karena manfaat menurut mereka dapat diwariskan kepada ahli waris. Manfaat juga termasuk harta.
Hukum ijarah sahih adalah tetapnya kemamfaatan bagi penyewa, dan tetapnya upah bagi pekerja atau orang yang menyewakan ma’qud ‘alaih sebab ijarah termasuk jual beli pertukaran hanya saja dengan kemamfaatan.
Hukum ijarah rusak, menurut ulama hanafiyah, jika penyewa telah mendapatkan manfaat
tetapi orang yang menyewakan atau yang bekerja dibayar lebih kecil dari kesepakatan pada
waktu akad, ini bila kerusakan tersebut terjadi pada syarat. Akan tetapi, jika kerusakan
disebabkan penyewa tidak memberi tahukan jenis pekerjaan perjanjiannya upah harus diberikan semestinya.
5. Macam-macam Ijarah
Dari perspektif objek dalam kontrak sewa (al-ma'qud ‘alaih), ijarah terbagi tiga bagian:
• Ijarah ‘Ain adalah akad sewa-menyewa atas manfaat yang bersinggungan langsung dengan bendanya, seperti sewa tanah atau rumah 1 juta sebulan untuk tempo setahun.
• Ijarah ‘Amal( إجارة العمل) apa yang dijadikanالمعقود عليهadalah kerja itu sendiri, yaitu upah kepakarannya dalam kerja, seperti dokter, dosen, lawyer, tukangdan lain-lain.
• Ijarah Mawshufah Fi Al-Zimmah / Ijarah Al-Zimmah (الإجارة الموصوفة في الذمة) yaitu akad sewa-menyewa dalam bentuk tanggungan, misalnya menyewakan mobil dengan ciri tertentu untuk kepentingan tertentu pula. Dalam konteks modern misalnya tuan A menyewakan rumahnya di lokasi tertentu dengan ukuran tertentu pula kepada B, tapi rumah tersebut akan siap dalam tempo dua bulan lagi. Namun B telah lebih awal menyewanya untuk tempoh 3 tahun dengan bayaran bulanan 2 juta.Ini Ijarah Fi Al-Zimmah, karena manfaat yang disewakan menjadi seperti tanggungjawab hutang ke atas A. Pemberi sewa perlu memastikan spesifikasi manfaat sewa rumah itu ditepati apabila sampai tempohnya. Mayoritas Maliki, Syafi’idan Hanbali, Majlis Syariah AAOIFI berpendapatmubah dengan syarat-syaratnya.
6. Akad Ijarah Berakhir
Suatu akad ijarah berakhir:
1. Obyek hilang atau musnah seperti rumah terbakar
2. Habis tenggang waktu yang disepakati
Kedua point tersebut di atas disepakati oleh ulama
3. Menurut Mazhab Hanafi, akad berakhir apabila salah seorang meninggal dunia, karena manfaat tidak dapat diwariskan. Berbeda dcengan jumhur ulama, akad tidak berakhir (batal) karena manfaat dapat diwariskan
4. Menurut Mazhab Hanafi, apabila ada uzur seperti rumah disita, maka akad berakhir. Sedangkan jumhur ulama melihat, bahwa uzur yang membatalkan ijarah itu apabila obyeknya mengandung cacat atau manfaatnya hilang seperti kebakaran dan dilanda banjir.
7. Aplikasi Ijarah dalam Lembaga Keuangan
Bank-bank Islam yang mengoperasikan produk ijarah, dapat melakukan leasing, baik dalam bentuk operting lease maupun financial lease. Akan tetapi, pada umumnya bank-bank tersebut lebih banyak menggunakan Ijarah Muntahiya bit-Tamlik, karena lebih sederhana dari sisi pembukuan. Selain itu, bank pun tidak direpotkan untuk mengurus pemeliharaan aset, baik pada saat leasing maupun sesudahnya.
8. Hal- hal yang Boleh Ditarik Upahnya
Segala sesuatu yang dapat diambil manfaatnya dan sesuatu itu yang tetap utuh, maka boleh disewakan untuk mendapatkan upahnya, selama tidak didapati larangan dari syari’at. Dipersyaratkan sesuatu yang disewakan itu harus jelas dan upahnya pun jelas, demikian pula jangka waktunya dan jenis pekerjaannya.
Allah swt berfirman ketika menceritakan perihal rekan Nabi Musa as:
“Berkatalah dia (Syu’aib), Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah suatu kebaikan) darimu.” (QS al-Qashash: 27).
Dari Hanzhalah bin Qais, ia bertutur: Saya pernah bertanya kepada Rafi’ bin Khadij tentang menyewakan tanah dengan emas dan perak. Maka jawabnya, “Tidak mengapa, sesungguhnya pada masa Nabi saw orang-orang hanya menyewakan tanah dengan (sewa) hasil yang tumbuh di pematang-pematang (galengan), tepi-tepi parit, dan beberapa tanaman lain. Lalu yang itu musnah dan yang ini selamat, dan yang itu selamat sedang yang ini musnah. Dan tidak ada bagi orang-orang (ketika itu) sewaan melainkan ini, lalu yang demikian itu dilarang. Adapun (sewa) dengan sesuatu yang pasti dan dapat dijami, maka tidak dilarang.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1498)
9. Anjuran Segera Membayar Upah
Dari Ibnu Umair ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya!” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 1980 dan Ibnu Majah II: 817 no: 2443).
Pada dasarnya semua yang dipekerjakan untuk pribadi dan kelompok (serikat), harus mempertanggungjawabkan oekerjaan masing-masing. Sekiranya terjadi kerusakan atau kehilangan, maka dilihat dahulu permasalahannya apakah ada usur kelalaian atau kesengajaan atau tidak? Jika tidak, maka tidak perlu diminta penggantinya dan jika ada unsure kelalaian atau kesengajaan, maka dia harus mempertanggungjawabkannya, apakah dengan cara mengganti atau sanksi lainnya.
Sekiranya menjual jasa itu untuk kepentingan orang banyak seperti tukang jahit dan tukang sepatu, maka ulama berbeda pendapat.
Imam Abu Hanifah, Zufar bin Huzail dan Syafi’i berpendapat, bahwa apabila kerusakan itu bukan karena unsur kesengajaan dan kelalaian maka para pekerja itu tidak dituntut ganti rugi.
Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani (murid Abu Hanifah), berpendapat bahwa pekerja itu ikut bertanggungjawab atas kerusakan tersebut, baik yang sengaja atau tidak. Berbeda tentu, kalau terjadi kerusakan itu diluar batas kemampuannyaseperti banjir besra atau kebakaran.
Menurut Mazhab Maliki apabila sifat pekerjaan itu membekas pada barang itu seperti tukang binatu, juru masak dan buruh angkat (kuli), maka baik sengaja maupun tidak sengaja segala kerusakan menjadi tanggung jawab pekerja itu dan wajib ganti rugi.
10. Dosa Orang yang Tidak Mau Membayar Upah Pekerja
Dari Abu Hurairah ra dari Nabi saw Beliau bersabda, “Allah Ta’ala berfirman: Ada tiga golongan yang pada hari kiamat (kelak) Aku akan menjadi musuh mereka: (pertama) seorang laki-laki yang mengucapkan sumpah karena Aku kemudian ia curang, (kedua) seorang laki-laki yang menjual seorang merdeka lalu dimakan harganya, dan (ketiga) seorang laki-laki yang mempekerjakan seorang buruh lalu sang buruh mengerjakan tugas dengan sempurna, namun ia tidak memberinya upahnya.” (Hasan: Irwa-ul Ghalil no: 1489 dan Fathul Bari IV: 417 no: 2227).
11. Upah dalam Pekerjaan Ibadah
Upah dalam perbuatan ibadah (ketaatan) seperti shalat, puasa, haji dan membaca Al-Qur’an diperselisihkan kebolehannya oleh para ulama, karena berbeda cara pandang terhadap pekerjaan-pekerjaan ini.
Para ulama fiqih berbeda pendapat dalam hal menyewa (menggaji) seorang mu’azin, menggaji imam shalat dan menggaji seorang mengajar Al-Qur’an.
Mazhab hanafi berpendapat bahwa ijarah dalam perbuatan taat seperti menyewa orang lain untuk shalat, puasa, haji, atau membaca Al-Qur’an yang pahalanya dihadiahkan kepada orang tertentu, seperti kepada arwah ibu bapak dari yang menyewa, azan, qomat, dan menjadi imam, haram hukumnya mengambil upah dari pekerjaan tersebut karena Rasulullah saw bersabda :
“Bacalah olehmu Al-Qur’an dan jangan kamu (cari) makan dengan jalan itu”
“Jika kamu mengangkat seseorang menjadi mu’adzdzin, maka janganlah kamu pungut dari adzan itu suatu upah”
Perbuatan seperti adzan, qomat, shalat, haji, puasa, membaca Al-Qur’an dan dzikir tergolong perbuatan untuk taqarrub kepada Allah karenanya tidak boleh mengambil upah untuk pekerjaan itu selain dari Allah.
Hal yang sering terjadi di beberapa daerah di Negara Indonesia, apabila seorang muslim meninggal dunia, maka orang-orang yang ditinggal mati (keluarga) memerintah kepada para santri atau yang lainnya yang pandai membaca Al-Qur’an di rumah atau di kuburan secara bergantian selama tiga malam bila yang meninggal belum dewasa, tujuh malam bagi orang yang meninggal sudah dewasa dan ada pula bagi orang-orang tertentu mencapai empat puluh malam. Setelah selesai pembacaan Al-Qur’an pada waktu yang telah ditentukan, mereka diberi upah alakadarnya dari jasanya tersebut.
Pekerjaan seperti ini batal menurut hukum islam karena yang mebaca Al-Qur’an bila bertujuan untuk memperoleh harta maka tak ada pahalanya. Lantas apa yang akan dihadiahkan kepada mayit, sekalipun pembaca Al-Qur’an niat karena Allah, maka pahala membaca ayat Al-Qur’an untuk dirinya sendiri dan tidak bisa diberikan kepada orang lain, Karena Allah berfirman :“Mereka mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang ia kerjakan” (Al-Baqarah : 282).
Dijelaskan oleh Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh Sunnah, para ulama memfatwakan tentang kebolehan mengambil upah yang dianggap sebagai perbuatan baik, seperti para pengajar Al-Qur’an, guru-guru sekolah dan yang lainnya dibolehkan mengambil upah karena mereka membutuhkan tunjangan untuk dirinya dan orang-orang yang menjadi tanggungannya, mengingat mereka tidak sempat melakukan pekerjaan lain seperti dagang, bertani, dan yang lainnya dan waktunya tersita untuk mengajarkan Al-Qur’an.
Menurut mazhab Hambali bahwa pengambilan upah dari pekerjaan azan, qamat, mengajarkan Al-Qur’an, fiqh, hadits, badal haji dan puasa qadha adalah tidak boleh, diharamkan bagi pelakunya untuk mengambil upah tersebut. Namun boleh mengambil upah dari pekerjaan-pekerjaan tersebut jika termasuk kepada mashalih, seperti mengajarkan Al-Qur’an, hadits, dan fiqh, dan haram mengambil upah yang termasuk kepada taqarrub seperti membaca Al-Qur’an, shalat dan yang lainnya.
Mazhab Maliki, Syafi’i dan Ibnu Hazm membolehkan mengambil upah sebagai imbalan mengajarkan Al-Qur’an dan ilmu-ilmu karena ini termasuk jenis imbalan perbuatan yang diketahui dan dengan tenaga yang diketahui pula.
Ibnu Hazm mengatakan bahwa pengambilan upah sebagai imbalan mengajar Al-Qur’an dan pengajaran ilmu, baik secara bulanan maupun sekaligus karena nash yang melarang tidak ada.
Abu Hanifah dan Ahmad melarang pengambilan upah dari tilawat Al-Qur’an dan mengajarkannya apabila kaitan pembacaan dan pengajarannya dengan taat atau ibadah. Sementara Maliki berpendapat boleh mengambil imbalan dari pembacaan, azan, dan badal haji.
Imam Syafi’i berpendapat bahwa pengambilan upah dari pengajaran berhitung, khat, bahasa, sastra, fiqih, hadits, membangun masjid, menggali kuburan, memandikan mayit, dan membangun madrassh adalah boleh.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa pengambilan upah menggali kuburan dan membawa jenazah boleh, namun pengambilan upah memandikan mayit tidak boleh.
12. Menyewakan Barang Sewaan
Musta’jir dibolehkan menyewakan lagi barang sewaan kepada orang lain dengan syarat penggunaan barang itu sesuai dengan penggunaan yang dijanjikan ketika akad, seperti penyewaan seekor kerbau, ketika akad dinyatakan bahwa kerbau itu disewa untuk membajak sawah, kemudian kerbau tersebut disewakan lagi dan timbul musta’jir kedua, maka kerbau itu pun harus digunakan untuk membajak pula.
Harga penyewaan yang kedua ini bebas-bebas saja, dalam arti boleh lebih besar, lebih kecil, atau seimbang.
Bila ada kerusakan pada benda yang disewa, maka yang bertanggung jawab adalah pemilik barang (mu’jir) dengan syarat kecelakaan itu bukan akibat dari kelalaian musta’jir. Bila kecelakaan atau kerusakan benda yang disewa akibat kelalaian musta’jir maka yang bertanggung jawab adalah musta’jir itu sendiri, misalnya menyewa mobil, kemudian mobil itu hilang dicuri karena disimpan bukan pada tempat yang layak.
13. Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah
Ijarah adalah jenis akad lazim, yaitu akad yang tidak membolehkan adanya fasakh pada salah satu pihak, karena ijarah merupakan akad pertukaran, kecuali bila didapati hal-hal yang mewajibkan fasakh.
Ijarah akan menjadi batal bila ada hal-hal sebagai berikut.
• Terjadinya cacat pada barang sewaan yang terjadi pada tangan penyewa.
• Rusaknya barang yang disewakan, seperti rumah menjadi runtuh dan sebagainya
• Rusaknya barang yang diupahkan (ma’jur ‘alaih), seperti baju yang diupahkan untuk dijahitkan
• Terpenuhinya manfaat yang diakadkan, berakhirnya masa yang telah ditentukan dan selesainya pekerjaan
• Meurut Hanafiyah, boleh fasakh ijarah dari salah satu pihak, seperti yang menyewa toko untuk dagang, kemudian dagangannya ada yang mencuri, maka ia dibolehkan memfasakhkan sewaan itu.
14. Pengembalian Sewaan
Jika ijarah telah berakhir, penyewa berkewajiban mengembalikan barang sewaan, jika barang itu dapat dipindahkan, ia wajib menyerahkannya kepada pemiliknya, dan jika bentuk barang sewaan adalah benda tetap (‘Iqar), ia wajb menyerahkan kembali dalam keadaan kosong dari tanaman, kecuali bila ada kesulitan untuk menghilangkannya.
Mazhab Hambali berpendapat bahwa ketika ijarah telah berakhir, penyewa harus melepaskan barang sewaan dan tidak ada kemestian mengembalikan untuk menyerahterimakannya, seperti barang titipan.
B. JU’ALAH
1. Pengertian Ju’alah
Ju’alah (الجعا لة)artinya janji hadiah atau upah. berarti upah atau hadiah yang diberikan kepada seseorang karena orang tersebut mengerjakan atau melaksanakan suatu pekerjaan tertentu. Secara terminologi fiqih berarti “suatu Iltizam الالتزام (tanggung jawab) dalam bentuk janji memberikan imbalan upah tertentu secara sukarela terhadap orang yang berhasil melakukan perbuatan atau memberikan jasa yang belum pasti dapat dilaksanakan atau dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan”. Jadi Ju'alah adalah suatu kontrak di mana pihak pertama menjanjikan imbalan tertentu kepada pihak kedua atas pelaksanaan suatu tugas/ pelayanan yang dilakukan oleh pihak kedua untuk kepentingan pihak pertama.
Madzhab Maliki mendefinisikan Ju’alah sebagai “Suatu upah yang dijanjikan sebagai imbalan atas suatu jasa yang belum pasti dapat dilaksanakan oleh seseorang”. Madzhab Syafi’i mendefinisikannya: “Seseorang yang menjanjikan suatu upah kepada orang yang mampu memberikan jasa tertentu kepadanya”. Definisi pertama (Madzhab Maliki) menekankan segi ketidakpastian berhasilnya perbuatan yang diharapkan. Sedangkan definisi kedua (Madzhab Syafi’i) menekankan segi ketidakpastian orang yang melaksanakan pekerjaan yang diharapkan.
2. Dasar Hukum Ju’alah
Mazhab Maliki, Syafi'i dan Hanbali berpendapat bahwa Ju'alah boleh dilakukan berdasarkan Firman Allah swt dalam Q.S. Yusuf ayat 72 :
وَلِمَنْ جَاءَ بِهِ حِمْلُ بَعِيرٍ
Artinya “Dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta”
Hadis riwayat Imam al-Bukhari dari Abu Sa’id al-Khudri: “Sekelompok sahabat Nabi SAW melintasi salah satu kampung orang Arab. Penduduk kampung tersebut tidak menghidangkan makanan kepada mereka. Ketika itu, kepala kampung disengat kalajengking. Mereka lalu bertanya kepada para sahabat: ’Apakah kalian mempunyai obat, atau adakah yang dapat meruqyah (menjampi)?’ Para sahabat menjawab: ’Kalian tidak menjamu kami; kami tidak mau mengobati kecuali kalian memberi imbalan kepada kami.’ Kemudian para penduduk berjanji akan memberikan sejumlah ekor kambing. Seorang sahabat membacakan surat al-Fatihah dan mengumpulkan ludah, lalu ludah itu ia semprotkan ke kepala kampung tersebut; ia pun sembuh. Mereka kemudian menyerahkan kambing. Para sahabat berkata, 'Kita tidak boleh mengambil kambing ini sampai kita bertanya kepada Nabi SAW.' Selanjutnya mereka bertanya kepada beliau. Beliau tertawa dan bersabda,Tahukah anda sekalian, bahwa itu adalah ruqyah! Ambillah kambing tersebut dan berilah saya bagian.'" (HR. Bukhari).
Pendapat Ibnu Qudamah dalam al-Mughni, VIII/323 : “Kebutuhan masyarakat memerlukan adanya ju’alah; sebab pekerjaan (untuk mencapai suatu tujuan) terkadang tidak jelas (bentuk dan masa pelaksanaannya), seperti mengembalikan budak yang hilang, hewan hilang, dan sebagainya. Untuk pekerjaan seperti ini tidak sah dilakukan akad ijarah (sewa/pengupahan) padahal (orang/pemiliknya) perlu agar kedua barang yang hilang tersebut kembali, sementara itu, ia tidak menemukan orang yang mau membantu mengembalikannya secara suka rela (tanpa imbalan). Oleh karena itu, kebutuhan masyarakat mendorong agar akad ju’alah untuk keperluan seperti itu dibolehkan sekalipun (bentuk dan masa pelaksanaan) pekerjaan tersebut tidak jelas.
Pendapat Imam al-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, XV/449 : “Boleh melakukan akad Ju’alah, yaitu komitmen (seseorang) untuk memberikan imbalan tertentu atas pekerjaan tertentu atau tidak tertentu yang sulit diketahui.”
Pendapat para ulama dalam kitab Hasyiyah al-Bajuri II/24 : “Ju’alah boleh dilakukan oleh dua pihak, pihak ja’il (pihak pertama yang menyatakan kesediaan memberikan imbalan atas suatu pekerjaan) dan pihak maj’ul lah (pihak kedua yang bersedia melakukan pekerjaan yang diperlukan pihak pertama)…, (Ju’alah) adalah komitmen orang yang cakap hukum untuk memberikan imbalan tertentu atas pekerjaan tertentu atau tidak tertentu kepada orang tertentu atau tidak tertentu.” Mazhab Hanafi tidak membenarkan Ju'alah karena dalam Ju'alah terdapat unsur gharar.
3. Rukun Ju’alah
1. Sighot
2. Ja’il adalah pihak yang berjanji akan memberikan imbalan tertentu atas pencapaian hasil pekerjaan (natijah) yang ditentukan
3. Maj’ul lah adalah pihak yang melaksanakan Ju’alah
4. maj’ul ‘alaih adalah pekerjaan yang ditugaskan
5. Upah / hadiah/ fee
4. Syarat Ju’alah
Orang yang menjanjikan upah atau hadiah harus orang yang cakap untuk melakukan tindakan hukum, yaitu: baligh, berakal dan cerdas. Dengan demikian anak-anak, orang gila dan orang yang berada dalam pengampuan tidak sah melakukan Ju’alah.
Upah atau hadiah yang dijanjikan harus terdiri dari sesuatu yang berharga atau bernilai dan jelas juga jumlahnya. Harta yang haram tidak dipandang sebagai harta yang bernilai (Madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali). Tidak boleh ada syarat imbalan diberikan di muka (sebelum pelaksanaan Ju’alah).
Ijab harus disampaikan dengan jelas oleh pihak yang menjanjikan upah walaupun tanpa ucapan Qabul dari pihak yang melaksanakan pekerjaan. Antara pekerjaan dan batas waktu yang ditetapkan untuk menyelesaikannya boleh digabungkan seperti seseorang berkata, “barangsiapa dapat membuat baju dalam satu hari maka ia dapatkan bayaran sekian” jika ada orang yang dapat membuat baju dalam satu hari maka ia berhak mendapatkan komisi/fee.
Pekerjaan yang diharapkan hasilnya itu harus mengandung manfaat yang jelas dan boleh dimanfaatkan menurut hukum syara’.
Madzhab Maliki dan Syafi’i menambahkan syarat, bahwa dalam masalah tertentu, Ju’alah tidak boleh dibatasi dengan waktu tertentu, seperti mengembalikan (menemukan) orang yang hilang. Sedangkan Madzhab Hanbali membolehkan pembatasan waktu.
Madzhab Hanbali menambahkan, bahwa pekerjaan yang diharapkan hasilnya itu, tidak terlalu berat, meskipun dapat dilakukan berulangkali seperti mengembalikan binatang ternak yang lepas dalam jumlah yang banyak.
5. Persyaratan Ju’alah
Agar pelaksanaan Ju’alah dipandang sah, harus memenuhi syarat-syarat:
a). Orang yang menjanjikan upah atau hadiah harus orang yang cakap untuk melakukan tindakan hukum, yaitu: baligh, berakal dan cerdas. Dengan demikian anak-anak, orang gila dan orang yang berada dalam pengampuan tidak sah melakukan Ju’alah.
b). Upah atau hadiah yang dijanjikan harus terdiri dari sesuatu yang bernilai harta dan jelas juga jumlahnya. Harta yang haram tidak dipandang sebagai harta yang bernilai (Madzhab Maliki, Syafi’I dan Hanbali).
c). Pekerjaan yang diharapkan hasilnya itu harus mengandung manfaat yang jelas dan boleh dimanfaatkan menurut hukum syara’.
d). Madzhab Maliki dan Syai’i menambahkan syarat, bahwa dalam masalah tertentu, Ju’alah tidak boleh dibatasi dengan waktu tertentu, seperti mengembalikan (menemukan) orang yang hilang. Sedangkan Madzhab Hanbali membolehkan pembatasan waktu.
e). Madzhab Hanbali menambahkan, bahwa pekerjaan yang diharapkan hasilnya itu, tidak terlalu berat, meskipun dapat dilakukan berulangkali seperti mengembalikan binatang ternak yang lepas dalam jumlah banyak.
6. Contoh Sayembara Yang Diharamkan
Sebuah yayasan menyelenggarakan kuis berhadiah, namun untuk bisa mengikuti kuis tersebut, tiap peserta diwajibkan membayar biaya sebesar Rp. 5.000,-. Peserta yang ikutan jumlahnya 1 juta orang. Dengan mudah bisa dihitung berapa dana yang bisa dikumpulkan oleh yayasan tersebut, yaitu 5 milyar rupiah. Kalau untuk pemenang harus disediakan dana pembeli hadiah sebesar 3 milyar, maka pihak yayasan masih mendapatkan untung sebesar 2 Milyar. Bentuk kuis berhadiah ini termasuk judi, sebab hadiah yang disediakan semata-mata diambil dari kontribusi peserta.
7. Contoh Sayembara Yang Dihalalkan
Sebuah toko menyelenggarakan undian berhadiah bagi pelanggan / pembeli yang nilai total belanjanya mencapai Rp. 50.000. Dengan janji hadiah seperti itu, toko bisa menyedot pembeli lebih besar -misalnya- 2 milyar rupiah dalam setahun. Pertambahan keuntungan ini bukan karena adanya kontribusi dari pelanggan / pembeli sebagai syarat ikut undian. Melainkan dari bertambahnya jumlah mereka.Hadiah yang dijanjikan sejak awal memang sudah disiapkan dananya dan meskipun pihak toko tidak mendapatkan keuntungan yang lebih, hadiah tetap diberikan. Maka dalam masalah ini tidaklah disebut sebagai perjudian.
C. UNDIAN BERHADIAH
1. Pengertian
Undian berhadiah dikenal pula dengan lotere. Maksud lotere menurut Ibrahim Husen adalah salah satu cara untuk mrnghimpun dana yang dipergunakan untuk proyek kemanusiaan dan kegiatan social.
Undian ini dilakukan dengan beberapa cara, antara lain dengan cara menjual kupon amal dengan nomor-nomor tertentu. Untuk merangsang dan menggairahkan para penyumbang (pembeli kupon) diberikan hadia-hadiah. Hadiah ini biasanya diundi di depan notaries dan dibuka untuk umum. Siapa saja yang nomornya tepet akan mendapatkan hadiah tersebut.
Ada juga sebuah toko (dept.store) yang menyebarkan karcis, misalnya tiap-tiap yang belanja seharga Rp. 100.000,00 memperoleh sebuah karcis, pada waktu-waktu tertentu karcis tersebut diundi. Orang yang nomor karcisnya keluar akan memperoleh hadiah yang telah dijanjikan, biasanya hadiah berupa motor atau mobil. Undian ini dilakukan untuk merangsang para pembeli untuk merangsang para pembeli agar mau berbelanja pada toko tersebut.
Hal-hal seperti di atas sering dijumpai, seperti di bioskop-bioskop, taman hiburan, kolam pemancingan, perusahaan rokok, sabun, pasta gigi dan benda-benda lainnya. Disebut sumbangan berhadiah karena bagi pemenangnya (yang tepat nomornya) akan memperoleh hadiah dari pihak penyelenggara. Disebut pula undian harapan, karena hadiah yang diharap-harap itu penentuannya melalui undian.
2. Aktivitas Lotere
Lotere (undian berhadiah) dalam aktivitasnya melibatkan hal-hal sebagai berikut:
1. Penyelenggara, biasanya pemerintah atau lembaga swasta yang legal mendapatkan izin dari pemerintah.
2. Para penyumbang, yakni orang-orang yang membeli kupon dengan mengharapkan hadiah
Kegiatan pihak penyelenggara sebagai berikut :
1. Mengedarkan kupon (menjual kupon), salah satu fungsi pengedaran kupon adalah dapat dihitungnya dana yang diperoleh dari para penyumbang
2. Membagi-bagi hadiah sesuai dengan ketentuan, hadiah ini diambil dari sebagian hasil dana yang diperoleh
3. Menyalurkan dana yang telah terkumpul sesuai dengan rencana yang telah ditentukan setelah diambil untuk hadiah dan biaya operasional.
3. Lotere Menurut A. Hasan Bangil dan Fuad Mohd. Fachruddin
Di dalam buku A. Hasan yang berjudul Soal Jawab tentang Berbagai Masalah Agama dijelaskan bahwa kebanyakan para ulama mengharamkan lotere sekalipun hasil lotere tersebut digunakan untuk derma (membangun sekolah, pesantren, madrasah diniyah, rumah jompo, asrama yatim piatu dan lain sebagainya. Pasalnya menurut kebanyakan ulama, derma yang diberikan ini tidak atas dasar keikhlasan, sedangkan dalam konteks islam, ikhlas merupakan salah satu masalah yang dianggap pokok.
Pada bait berikutnya A. Hasan menjelaskan bahwa mengadakan (menyelenggarakan lotere) adalah haram dan membelinya adalah perbuatan yang dilarang (diharamkan)
Fuad Mohd. Fachruddin berpendapat bahwa lotere tidak termasuk salah satu perbuatan judi (maisir) yang diharamkan karena illat judi atau maisir tidak terdapat dalam lotere. Kemudian dikatakan bahwa pembeli atau pemasang lotere apabila bermaksud dan bertujuan hanya menolong dan mengharapkan hadiah, maka tidaklah terdapat dalam perbuatan itu satu perjudian. Apabila seseorang bertujuan semata-semata
4. Penerimaan Uang Lotere Menurut A. Hasan dan Abduh
Berdasarkan kaidah syara’, setiap sesuatu yang dihasilkan (didapatkan) dari cara yang haram, haram pula benda yang dihasilkannya. Jika dilihat dari sisi ini, maka penerimaan uang hasil lotere adalah haram.
Menurut A. Hasan selanjutnya, bahwa keadaan di Indonesia sungguhpun penduduknya mayoritas beragama islam, namun hukum-hukum yang berlaku hanya sebatas pada bidang perkawinan, ibadah dan pembagian warisan, tetapi tidak pada aspek yang lain seperti pembelian kupon
5. Hukum
Mengenai hukum dari perlombaan berhadiah, pada prinsipnya lomba semacam badminton, sepakbola dan lain-lain diperbolehkan oleh agama, asalkan tidak membahayakan keselamatan badan dan jiwa. Dan mengenai uang hadiah yang diperoleh dari hasil lomba tersebut diperbolehkan oleh agama, jika dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:
a. Jika uang lomba berhadiah itu disediakan oleh pemerintah atau sponsor non pemerintah untuk para pemenang.
b. Jika uang hadiah itu merupakan janji salah satu dua orang yang berlomba kepada lawannya, jika ia dapat dikalahkan oleh lawannya itu.
c. Jika uang hadiah lomba disediakan oleh para pelaku lomba dan mereka disertai Muhallil, yaitu orang yang berfungsi menghalalkan perjanjian lomba dengan uang sebagai pihak ketiga, yang akan mengambil uang hadiah itu, jika ia jagonya menang; tetapi ia tidak harus membayar, jika jagonya kalah.
Lomba dengan menarik uang saat pendaftaran dari peserta untuk hadiah termasuk judi, sedangkan yang bukan untuk hadiah itu tidak termasuk judi.
Abdurrahman Isa menjelaskan, bahwa Islam membolehkan bahkan memberi rekomendasi terhadap usaha menghimpun dana guna membantu lembaga sosial keagamaan dengan memakai sistem undian berhadiah, agar masyarakat tertarik untuk membantu usaha sosial itu.
Menurut Abdurrahman Isa, undian berhadiah itu tidak termasuk judi, karena judi dan lain sebagainya dirumuskan oleh ulama’ Syafi’i adalah “antara kedua belah pihak yang berhadapan itu masing-masing ada untung dan rugi”. Padahal pada undian berhadiah untuk amal itu pihak penyelenggara tidak menghadapi untuk rugi, sebab uang yang akan masuk sudah ditentukan sebagian untuk dana sosial, dan sebagian lagi untuk hadiah dan administrasi.
Mengenai hukum dari Lotre itu juga termasuk perjudian atau taruhan dan berlaku nas Sharih dalam Al-qur’an surat Al-Baqarah ayat 219 sebagai berikut:
Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang khamar [segala minuman yang memabukkan] dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir,
6. Perbedaan Jualah, Undian dan Kuis
Ju’alah artinya janji hadiah atau upah.Pengertian secara etimologi berarti upah atau hadiah yang diberikan kepada seseorang karena orang tersebut mengerjakan atau melaksanakan suatu pekerjaan tertentu.
Undian berhadiah adalah pemungutan dana dengan cara menyelenggarakan undian/kupon berhadiah yang dapat menarik masyarakat untuk membelinya agar mendapatkan hadiah tersebut seperti yang dijanjikan.
Kuis yang ditayanngkan dalam iklan di media massa yang bisa juga berunsur judi. Yaitu manakalah ada unsur kewajiban membayar biaya tertentu dari pihak peserta. Sebaliknya, bila sama sekali tidak ada kontribusi biaya dari peserta untuk membeli hadiah, seperti dari pihak sponsor, maka kuis itu halal hukumnya. Namun harus diperhatikan dalam kaitannya dengan kuis / sayembara / undian yang biasa dilakukan di media seperti tv dan sebagainya agar jangan sampai terkontaminasi dengan praktek-praktek judi atau riba.
7. Perbedaan Ju’alah dengan Judi
Antara Ju’al dengan judi memang bisa terdapat kemiripan, bahkan bisa jadi sebuah undian yang pada dasarnya halal bisa berubah menjadi haram bila ada ketentuan tertentu yang menggesernya menjadi sebuah perjudian. Maka yang membedakannya bukan nama atau pengistilahannya, melainkan kriteria yang ditetapkan oleh penyelenggara undian tersebut.
Sebuah undian bisa menjadi judi manakala ada keharusan bagi peserta untuk membayar sejumlah uang atau nilai tertentu kepada penyelenggara. Dan dana untuk menyediakan hadiah yang dijanjikan itu didapat dari dana yang terkumpul dari peserta undian. Maka pada saat itu jadilah undian itu sebuah bentuk lain dari perjudian yang diharamkan.
8. Contoh Ju’alah
Ibnu Qudamah Al-Hanbali mengatakan, “Jualah adalah semisal ucapan, 'Siapa yang menemukan lalu mengembalikan barangku atau hewan ternakku yang hilang atau membuat tembok ini maka untuknya upah sebesar sekian.' Siapa saja yang melakukan apa yang dikatakan di atas dia berhak mendapatkan upah yang dijanjikan.
Contoh jualah yang lain adalah hadiah dalam bentuk uang dalam nominal tertentu, yang dijanjikan oleh pemerintah atau pun aparat keamanan, bagi siapa saja yang bisa menginformasikan keberadaan penjahat yang menjadi buronan semisal pengedar narkoba atau yang lain. (Syarh Umdah Al-Fiqh, jilid 2, hlm. 954--955)
9. Aplikasi dalam Lembaga Keuangan
Belum ada aplikasi Ju’alah yang khusus dalam lembaga keuangan syariah, namun aplikasi ini bisa dilihat dalam praktek penerbitan SBIS (sertifikat Bank Indonesia Syariah)
D. WAKALAH
1. Pengertian Wakalah
Al-wakalah memiliki beberapa makna secara lughowi, di antaranya arti perlindungan (al-hifz), penyerahan (at-tafwidz), atau memberikan kuasa.menurut kalangan syafi’iyah arti wakalah adalah ungkapan atau penyerahan kuasa (al-muwakkil) kepada orang lain (al-wakil) supaya melaksanakan sesuatu dari jenis pekerjaan yang bisa di gantikan (an-naqbalu an-niyabah) dan dapat di lakukan oleh pemberi kuasa. Dengan ketentuan pekerjaan tersebut di laksanakan pada saat pemberi kuasa masih hidup.
Al-wakalah atau At-Tahwidh yang artinya penyerahan, pendelegasian atau pemberian mandate (sabiq,2008). Akad wakalah adalah akad pelimpahan kekuasaan oleh satu pihak kepada pihak lain dalam hal-hal yang boleh di wakilkan. Sebabnya adalah tidak semua hal dapat di wakilkan.
Al-wakalah dalam pengertian lain yaitu pelimpahan kekuasaan oleh seseorang sebagai pihak pertama kepada orang lain sebagai pihak ke dua dalam hal-hal yang di wakilkan (dalam hal ini pihak ke 2), hanya melaksanakan sesuatu sebatas kuasa atau wewenang yang di berikan oleh pihak pertama, namun apabila kuasa itu telah di laksanakan sesuai yang di syaratkan maka semua resiko dan tanggung jawab atas di laksanakan perintah tersebut sepenuh nya menjadi pihak pertama atau pemberi kuasa.
Dalam menjalani kehidupan ini,sering kali manusia tidak dapat menyelesaikan semua urusannya sendiri sehingga perlu pihak lain untuk mewakilinya.contoh nya,adalah mewakilkan dalam pembelian barang ,pengiriman uang, pembayaran utang,penagihan utang, realisasi letter of credit dan lain sebagainya.
Wakalah dalam pendelegasian pembelian barang, terjadi dalam situasi dimana seseorang (perekomendasian)mengajukan calon atau menunjuk orang lain untuk mewakili dirinya membeli sesuatu. Orang yang di minta di wakilkan harus menyerahkan sejumlah uang secara penuh sebesar harga barang yang akan di beli kepada pihak yang mewakili dalam suatu kontrak wadiah. Agen (wakil)membyar pihak ketiga dengan menggunakan titipan muwakkil untuk membeli barang.
Agen (wakil) boleh menerima komisi (al-ujur)dan boleh tidak menerima komisi (hanya mengharapkan ridho Allah/tolong menolong). Tetapi bila ada komisi atau upah maka akad nya seperti akad ijarah/ sewa menyewa. Wakalahdengan imbalan di sebut dengan wakalah bil-ujrah,bersifat mengikat dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak
2. Dasar Hukum Wakalah
Al-Qur’an: QS Al-Kahfi (18:19).
“Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. berkatalah salah seorang di antara mereka: sudah berapa lamakah kamu berada (disini?)”. mereka menjawab: “Kita berada (disini) sehari atau setengah hari”. berkata (yang lain lagi): “Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah Dia Lihat manakah makanan yang lebih baik, Maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia Berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun.
Al-Hadits
Banyak hadits yang dapat dijadikan landasan keabsahan Wakalah, diantaranya: “Bahwasanya Rasulullah mewakilkan kepada Abu Rafi’ dan seorang Anshar untuk mewakilkannya mengawini Maimunah binti Al Harits”. HR. Malik dalam al-Muwaththa’)
“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf)
Ijma’:
Para ulama pun bersepakat dengan ijma’ atas diperbolehkannya Wakalah. Mereka bahkan ada yang cenderung mensunahkannya dengan alasan bahwa hal tersebut termasuk jenis ta’awun atau tolong-menolong atas dasar kebaikan dan taqwa. Tolong-menolong diserukan oleh Al-Qur’an dan disunahkan oleh Rasulullah.
3. Rukun dan Syarat Wakalah
Menurut kelompok Hanafiah, rukun wakalah itu hanya ijab qabul. Akan tetapi menurut jumhur ulama tidak sependirian dengan pandangan tersebut, mereka berpendirian bahwa rukun dan syarat wakalah adalah sebagai berikut :
1) Pelaku
a. Orang yang mewakilkan (al-muakkil)
Seseorang yang mewakilkan,pemberi kuasa disyaratkan memiliki hak untuk bertasharruf pada bidang-bidang yang di delegasikan nya.karena itu seseorang tidak sah jika mewakilkan sesuatu yang bukan haknya. Pemberi kuasa mempunyai hak atas sesuatu yang di kuasakannya, di sisi lain juga di tuntut supaya pemberi kuasa itu sudah cakap bertindak atau mukallaf.
b. Orang yang di wakilkan (al-wakil)
Penerimaan kuasa pun perlu memiliki kecakapan akan suatu aturan yang mengatur proses akad wakalah ini. Sehingga cakap hukum menjadi salah satu syarat yang di wakilkan. Seseorang yang menerima kuasa ini perlu memiliki kemampuan untuk menjalankan amanah nya yang di berikan oleh pemberi kuasa. Ini berarti bahwa ia tidak diwajibkan menjamin sesuatu yang di luar batas, kecuali atas kesengajaannya.
2) Objek yang diwakilkan
a. Obyek harus berbentuk pekerjaan yang pada saat dikuasakan menjadi hak pemberi kuasa (al-muwakkil). Sehingga tidak sah mewakilkan penjualan barang yang tidak dimiliki al-muwakil, atau akan dimilikinya. Kecuali mewakilkan penjualan barang yang akan dimiliki secara taba'i (mengikuti barang yang sudah ada dalam kepemilikan). Seperti, mewakilkan untuk menjual buah yang akan dikeluarkan pohon milik al-muwakkil. Meskipun buah belum ada, namun dinilai sah karena pohonnya dimiliki oleh al-muwakkil.
b. Pekerjaan yang dikuasakan harus jelas spesifikasi dan kriterianya, meskipun hanya dari satu tinjauan. Hukumnya sah mengatakan, ”Aku mewakilkanmu untuk melunasi hutangku”, meskipun al-wakil tidak tahu persis hutang yang mana dan siapa saja yang menghutangi.
c. Obyek harus dari jenis pekerjaan yang menerima untuk dikuasakan pada orang lain. Sehingga ulama berpendapat, tidak sah menguasakan sesuatu yang bersifat ibadah badaniyah murni, seperti shalat dan puasa. Namun boleh menguasakan ibadah yang kemampuan badan menjadi syarat pelaksanaan, bukan syarat wajib, seperti haji dan umrah. Atau menguasakan hal-hal yang bersifat penyempurna dalam sebuah ibadah, seperti pembagian harta zakat pada mereka yang berhak.
3) Shigat / Ijab Kabul
Bahasa dari pemberi kuasa hrus mewakili kerelaan nya menyerahkan kuasa kepada alwakil , baik berbentuk sharih (jelas) sebagaimana ucapan “Aku wakilkan kepadamu penjualan rumahku ini”, maupun kinayah (tersirat dan dapat di tafsirkan berbeda),seperti ucpan “aku posisikan dirimu menggantikan aku untuk rumah ini “.
Dari pihak penerim kuasa al-wakil hanya cukup menerimanya (qabul) meskipun tidak ada ucapan ataupun tidakan.
Bahasa penyerahan kuasa tidak dirangkai dengan ikatan syarat tertentu, seperti ucapan,”jiaka zaid datang kota, maka engkau menjadi wakilku untuk menjualkan kambing ini”. berbeda halnya jika syarat di berlakukan dalam urusan pembelanjaan pada jenis al-wakalah al- munjazah (wujud pengusaan nya sudah ada), seperi ucapan “Aku wakilkanmu menjual rumah ini ,hanya saja tolong kamu jual hanya awal bulan muharam saja”. Sighat wakalah juga menerima pembatasan masa tugas al-wakil ,seperti dalam tempo seminggu atau sebulan
4. Aplikasi Wakalah dalam Lembaga Keuangan
1) Transfer uang
Proses transfer uang ini adalah proses yang menggunakan konsep akad Wakalah, dimana prosesnya diawali dengan adanya permintaan nasabah sebagai Al-Muwakkil terhadap bank sebagai Al-Wakil untuk melakukan perintah/permintaan kepada bank untuk mentransfer sejumlah uang kepada rekening orang lain, kemudian bank mendebet rekening nasabah (Jika transfer dari rekening ke rekening), dan proses yang terakhir yaitu dimana bank mengkreditkan sejumlah dana kepada kepada rekening tujuan. Berikut adalah beberapa contoh proses dalam transfer uang ini
2) Wesel Pos
Pada proses wesel pos, uang tunai diberikan secara langsung dari Al-Muwakkil kepada Al-Wakil, dan Al-Wakil memberikan uangnya secara langsung kepada nasabah yang dituju. Berikut adalah proses pentransferan uang dalam Wesel Pos.
3) Letter Of Credit Import Syariah
Akad untuk transaksi Letter of Credit Import Syariah ini menggunakan akad Wakalah Bil Ujrah. Hal ini sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 34/DSN-MUI/IX/2002. Akad Wakalah bil Ujrah ini memiliki definisi dimana nasabah memberikan kuasa kepada bank dengan imbalan pemberian ujrah atau fee. Namun ada beberapa modifikasi dalam akad ini sesuai dengan sutuasi yang terjadi.
Akad Wakalah bil Ujrah dengan ketentuan:
a. Importir harus memiliki dana pada bank sebesar harga pembayaran barang yang diimpor.
b. Importir dan Bank melakukan akad Wakalah bil Ujrah untuk pengurusan dokumen-dokumen transaksi impor.
c. Besar ujrah harus disepakati diawal dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam bentuk prosentase.
4) Letter Of Credit Eksport Syariah
Akad untuk transaksi Letter of Credit Eksport Syariah ini menggunakan akad Wakalah. Hal ini sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 35/DSN-MUI/IX/2002. Akad Wakalah ini memiliki definisi dimana bank menerbitkan surat pernyataan akan membayar kepada eksportir untuk memfasilitasi perdagangan eksport. Namun ada beberapa modifikasi dalam akad ini sesuai dengan sutuasi yang terjadi.
Akad Wakalah bil Ujrah dengan ketentuan:
a. Bank melakukan pengurusan dokumen-dokumen ekspor.
b. Bank melakukan penagihan (collection) kepada bank penerbit L/C (issuing bank), selanjutnya dibayarkan kepada eksportir setelah dikurangi ujrah.Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam presentase.
5) Investasi Reksadana Syariah
Akad untuk transaksi Investasi Reksadana Syariah ini menggunakan akad Wakalah dan Mudharabah. Hal ini sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 20/DSN-MUI/IV/2001. Akad Wakalah ini memiliki definisi dimana pemilik modal memberikan kuasa kepada manajer investasi agar memiliki kewenangan untuk menginvestasikan dana dari pemilik modal.
E. ‘ARIYAH
1. PENGERTIAN
‘Ariyah (Pinjaman) yaitu meminjamkan suatu barang dari seseorang kepada orang lain secara cuma-cuma. Para fuqaha’ mendefinisikan ‘ariyah sebagai “pembolehan oleh pemilik akan miliknya untuk dimanfaatkan oleh orang lain dengan tanpa ganti (imbalan)”.
‘Ariyah menurut bahasa diambil dari kata ‘aara yang berarti datang dan pergi. Menurut pendapat lain, ‘ariyah berasal dari kata ta’aawur atau attanaawulu awittanaawubu yang artinya saling menukar dan mengganti yakni dalam hal pinjam meminjam. (Mughni al-Muhtaj, Muhammad asy-Syarbini, juz 2, hal. 263)
‘Ariyah menurut syara’ ada beberapa pendapat :
• Menurut Hanafiyah : “Pemilikan manfaat secara cuma-cuma”. (al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, Abd ar-Rahman al-Jaziri, hal. 270)
• Menurut Malikiyah : “Pemilikan manfaat dalam waktu tertentu dengan tanpa imbalan”. (al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, Abd ar-Rahman al-Jaziri, hal. 270)
• Menurut Syafi’iyah :“Kebolehan mengambil manfaat dari seseorang yang membebaskannya, apa yang mungkin untuk dimanfaatkan, serta tetap zat barangnya supaya dapat dikembalikan kepada pemiliknya”. (al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, Abd ar-Rahman al-Jaziri, hal. 271)
• Menurut Hanabilah:“Kebolehan memanfaatkan suatu zat barang tanpa imbalan dari peminjam atau yang lainnya”. (al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, Abd ar-Rahman al-Jaziri, hal. 271)
• Menurut Ibnu Rif’ah,‘ariyah adalah “Kebolehan mengambil manfaat suatu barang dengan halal serta tetap zatnya supaya dapat dikembalikan.”
• Menurut al-Mawardi, ‘ariyah adalah “Memberikan manfaat-manfaat”
• Sayyid Sabiq dalam kitabnya menerangkan bahwa ‘Ariyah adalah kebolehan mengambil manfaat barang-barang yang diberikan oleh pemiliknya kepada orang lain dengan tanpa ganti. (Fiqh as-Sunnah, Sayyid Sabiq, hal. 67)
Jadi, yang dimaksud ‘ariyah adalah memberikan manfaat suatu barang dari seseorang kepada orang lain secara cuma-cuma (gratis). Bila digantikan dengan sesuatu atau ada imbalannya, hal itu bukan ‘ariyah. Akad ‘ariyah ini berbeda dengan hibah, karena ‘ariyah dimaksudkan untuk mengambil manfaat dari suatu benda, sedangkan hibah adalah mengambil zat benda tersebut.
2. DASAR HUKUM
1. Al-Qur’an
Allah Swt berfirman, “Dan tolong menolonglah kamu untuk berbuat kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu tolong menolong untuk berbuat dosa dan permusuhan”.(Q.S. Al-Maidah:2)
2. As-Sunnah
Dalam hadits Bukhari dan Muslim dari Anas ra dinyatakan bahwa Rasulullah Saw telah meminjam kuda dari Abu Thalhah, kemudian beliau mengendarainya.
Dalam hadits riwayat Abu Dawud dengan sanad yang jayyid dari Shafwan bin Umayyah dinyatakan bahwa Rasulullah Saw pernah meminjam perisai dari Shafwan bin Umayyah pada waktu perang Hunain. Shafwan bertanya, “Apakah engkau mengambilnya, wahai Rasulullah?”. Nabi menjawab, “Hanya meminjam dan aku bertanggung jawab”.
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Setiap dua pinjaman yang diberikan oleh seorang muslim ke muslim lainnya bernilai satu sedekah”. (HR. Ibnu Majah, Ibnu Hibban & Baihaqi)
Diriwayatkan dari Anas ra bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Pada saat aku mi’raj, aku melihat tulisan di pintu surga yang berbunyi, ‘Setiap sedekah dibalas 10 kali dan pinjaman dibalas 18 kali’. Aku bertanya, ‘Wahai Jibril, mengapa pinjaman diberi balasan yang lebih dari sedekah?’. Jibril berkata, ‘Karena seseorang bisa minta sedekah pada saat dia tidak memerlukannya tetapi peminjam hanya meminjam karena memang benar-benar butuh”. (HR. Ibnu Majah & Baihaqi)
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa melepaskan kesulitan dari seorang muslim dalam kehidupan di dunia, Allah akan melepaskan kesulitan-kesulitannya pada hari pembalasan. Barangsiapa memudahkan kesulitan keuangan seorang muslim, Allah akan melepaskan kesulitan-kesulitannya di dunia dan di akhirat. Dan Allah akan selalu membantu seorang muslim sepanjang dia membantu saudaranya”. (HR. Muslim)
Rasulullah Saw bersabda, “Barang pinjaman adalah benda yang wajib dikembalikan”. (HR. Abu Dawud)
Rasulullah Saw bersabda, “Pinjaman yang tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerugian dan orang yang menerima titipan yang tidak khianat tidak berkewajiban mengganti kerugian”. (HR. Daruquthni)
Rasulullah Saw bersabda, “Siapa yang meminjam harta manusia dengan kehendak membayarnya maka Allah akan membayarnya, barangsiapa yang meminjam hendak melenyapkannya, maka Allah akan melenyapkan hartanya”. (HR. Bukhari)
3. MACAM-MACAM ‘ARIYAH
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa kewenangan yang dimiliki oleh musta’ar bergantung kepada jenis pinjaman, apakah mu’ir meminjamkannya secara muqayyad (terikat) atau mutlaq.
‘Ariyah Mutlaq yaitu pinjam-meminjam barang yang dalam akadnya tidak ada persyaratan apapun, seperti apakah pemanfaatannya hanya untuk musta’ir saja atau dibolehkan untuk orang lain dan tidak dijelaskan cara penggunaannya. Contohnya seorang meminjamkan kendaraan, namun dalam akad tidak disebutkan hal-hal yang berkaitan dengan penggunaan kendaraan tersebut, misalnya waktu dan tempat mengendarainya. Namun demikian harus disesuaikan dengan kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Tidak boleh menggunakan kendaraan tersebut siang malam tanpa henti. Jika penggunaannya tidak sesuai dengan kebiasaan dan barang pinjaman rusak maka mu’ir harus bertanggung jawab. (Bada’i ash-Shana’I fi Tartib asy-Syara’I, Alauddin al-Kasani, juz 6, hal. 215)
‘Ariyah Muqayyad yaitu akad meminjamkan barang yang dibatasi dari segi waktu dan pemanfaatannya, baik disyaratkan pada keduanya atau salah satunya. Maka musta’ir harus bisa menjaga batasan tersebut. Pembatasan bisa tidak berlaku apabila menyebabkan musta’ir tidak dapat mengambil manfaat karena adanya syarat keterbatasan tersebut. Dengan demikian dibolehkan untuk melanggar batasan tersebut apabila terdapat kesulitan untuk memanfaatkannya. (Bada’i ash-Shana’I fi Tartib asy-Syara’I, Alauddin al-Kasani, juz 6, hal. 215). Jika ada perbedaan pendapat antara mu’ir dan musta’ir tentang lamanya waktu meminjam, berat/nilai barang, tempat dan jenis barang maka pendapat yang harus dimenangkan adalah pendapat mu’ir karena dialah pemberi izin untuk mengambil manfaat barang pinjaman tersebut sesuai dengan keinginannya.
4. RUKUN
Menurut Hanafiyah, rukun ‘ariyah itu satu, yaitu Ijab dan Kabul, tidak wajib diucapkan tetapi cukup dengan menyerahkan pemilik kepada peminjam barang yang dipinjam dan boleh hukum ijab Kabul dengan ucapan. (al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, Abd ar-Rahman al-Jaziri, hal. 272)
Menurut Syafi’iyah rukun ‘ariyah adalah sbb : Ijab Kabul adalah kalimat mengutangkan (lafazh), seperti seseorang berkata, “Saya utangkan 3 dirham kepadamu” dan yang menerima berkata, “Saya mengaku berutang 3 dirham kepadamu”. Mu’ir yaitu orang yang mengutangkan (berpiutang) dan musta’ir yaitu orang yang menerima utang.
1. Syarat bagi yang meminjamkan, adalah memiliki hak sepenuhnya atas barang tersebut. Oleh karena itu si peminjam dilarang meminjam barang pinjaman kepada orang lain, karena barang tersebut bukan miliknya. Dalam hal ini anak kecil dan orang yang dipaksa, tidak sah meminjamkan.
2. Yang meminjam haruslah orang yang berhak menerima kebaikan dan bertanggung-jawab. Dengan demikian anak kecil dan orang gila tidak berhak menerima pinjaman
3. Barang yang dipinjam haruslah:
a. Memberi manfaat
b. Tidak rusak akibat dimanfaatkan sesuai fungsinya
4. Ijab qabul, kesepakatan antara peminjam dan pemilik barang yang meminjamkan
Apabila barang yang dipinjam itu rusak, selama dimanfaatkan sebagaimana fungsinya, si peminjam tidak diharuskan mengganti. Sebab pinjam-meminjam itu sendiri berarti saling percaya-mempercayai. Akan tetapi kalau kerusakan barang yang dipinjam akibat dari pemakaian yang tidak semestinya atau oleh sebab lain, maka wajib menggantinya.
Dari Shafwan bin Umaiyah: “Sesungguhnya Nabi saw. Telah meminjamkan baju perang dari shafwan pada waktu Perang Hunain. Shafwan bertanya: Paksaankah yaa Muhammad? Rasulullah menjawab: Bukan, tetapi pinjaman yang dijamin. Kemudian (baju perang itu) hilang sebagian, maka Rasulullah saw. Mengemukakan kepada Shafwan akan menggantinya. Shafwan berkata: Saya sekarang telah mendapat kepuasan dalam islam.” (H.R. Ahmad dan Nasa’ai).
Menurut Hanafiyah, rukun ‘ariyah adalah satu, yaitu ijab dan Kabul, tidak wajib diucapkan, tetapi cukup dengan menyerahkan pemilik kepada peminjam barang yang dipinjam dan boleh hokum ijab qabul dengan ucapan.
1. Kalimat mengutangkan (lafazh), seperti seseorang berkata, “saya utangkan benda ini kepada kamu” dan yang menerima berkata, “Saya mengaku berutang benda … kepada kamu”. Syarat bendanya ialah sama dengan syarat benda-benda dalam jual beli.
2. Mu’ir yaitu orang yang mengutangkan (berpiutang) dan musta’ir yaitu orang yuang menerima utang. Syarat bagi Mu’ir adalah pemilik yang berhak menyerahkannya, sedangkan syarat-syarat bagi mu’ir dan musta’ir adalah :
- Baligh, maka batal ‘ariyah yang dilakukan anak kecil atau shabiy;
- Berakal, maka batal ‘ariyah yang dilakukan oleh orang yang sedang tidur dan orang gila;
- Orang tersebut tidak dimahjur (di bawah curatelle), maka tidak sah ‘ariyah yang dilakukan oleh orang yang berada di bawah perlindungan (curatelle), seperti pemboros.
3. Benda yang diutangkan. Pada rukun ketiga ini disyaratkan kedua hal, yaitu :
- Materi yang dipinjamkan dapat dimanfaatkan, maka tidak sah ‘ariyah yang materinya tidak dapat digunakan, seperti meminjam karung yang sudah hancur sehungga tidak dapat digunakan untuk menyimpan padi;
- Pemanfaatan itu dibolehkan, maka batal ‘ariyah yang pengambilan manfaat materinya dibatalkan oleh syara’, seperti meminjam benda-benda najis.
5. HUKUM MEMINJAM
Sunnah dengan tujuan saling tolong menolong antar sesame
Wajib, misalnya meminjamkan mukena untuk shalat bagi orang yang membutuhkannya.
Haram, apabila meminjamkan suatu barang untuk keperluan maksiat atau kejahatan.
Menurut Sayyid Sabiq, tolong menolong (‘ariyah) adalah sunnah. Sedangkan menurut Al-Ruyani, sebagaimana dikutip oleh Taqiy Al-Din, bahwa ‘ariyah hukumnya wajib ketika awal islam. Adapun landasan hukumnya dari nash Al-Qur’an ialah : “Dan tolong-menolonglah kamu untuk berbuat kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu tolong-menolong untuk berbuat dosa dan permusuhan”. (Al-Maidah : 2)
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu agar menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya”. (An-Nisa : 58)
Sebagaimana halnya bidang-bidang lain, selain dari Al-Qur’an, landasan hukum yang kedua ialah Al-Hadits. Dalam landasan ini, ‘ariyah dinyatakan sebagai berikut : “Sampaikanlah amanat orang yang memberikan amanat kepadamu dan janganlah kamu khianat kepadamu”. (dikeluarkan oleh Abu Daud)
“Barang pinjaman adalah benda yang wajib dikembalikan” (Riwayat Abu Daud)
“Pinjaman yang tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerugian dan orang yang menerima titipan yang tidak khianat tidak berkewajiban mengganti kerugian” (Riwayat Daruquthni)
“Siapa yang meminjam harta manusia dengan kehendak membayarnya, maka Allah akan membayarnya, barang siapa yang meminjam hendak melenyapkannnya, maka Allah akan melenyapkan hartanya” (Riwayat Bukhori)
“Orang kaya yang memperlambat (melalaikan) kewajiban membayar utang adalah zalim (berbuat aniaya)” (Riwayat Bukhori dan Muslim)
Dalam suatu riwayat dijelaskan bahwa Rasulullah pernah meminjam baju perang Abu Safwan dengan suatu jaminan, tidak dengan jalan merampas dan tanpa izin. Ulama fiqih mengatakan bahwa ‘ariyah hukumnya mandub, karena melakukan ‘ariyah merupakan salah satu bentuk ketaatan kepada Allah swt. Namun para ulama mempunyai pandangan yang berbeda dalam menetapkan asal akad ‘ariyah.
Mazhab Maliki dan Hanafi mengatakan, bahwa ‘ariyah merupakan akad yang menyebabkan peminjam “memiliki manfaat” barang yang dipinjam. Peminjaman itu dilakukan secara suka rela, tanpa ada imbalan dari pihak peminjam. Oleh sebab itu pihak peminjam berhak meminjamkan barang itu kepada orang lain untuk dimanfaatkan, karena manfaat barang tersebut telah menjadi miliknya, kecuali pemilik barang membatasi pemanfaatannya bagi peminjam saja atau melarangnya meminjamkan kepada orang lain.
Mazhab Syafi’i, Hanafi, Abu Hasan Ubaidillah bin Hasan Al-Karkhi berpendapat, bahwa akad ‘ariyah hanya bersifat memanfaatkan benda tersebut karena itu pemanfaatannya terbatas pada pihak kedua saja (peminjam) dan tidak boleh dipinjamkan kepada pihak lain. Namun, semua ulama sepakat, bahwa benda tersebut tidak boleh disewakan kepada orang lain
6. SYARAT ‘ARIYAH
Ulama fiqih mensyaratkan dalam akad ariyah sbb :
Mu’ir berakal sehat
Dengan demikian orang gila dan anak kecil tidak dapat meminjamkan barang. Ulama Hanafiyah tidak mensyaratkan sudah baligh, sedangkan ulama lainnya menambahkan bahwa yang berhak meminjamkan adalah orang yang dapat berbuat kebaikan sekehendaknya tanpa dipaksa, bukan anak kecil, bukan orang bodoh dan bukan orang yang sedang pailit (bangkrut). (Mughni al-Muhtaj, Muhammad asy-Syarbini, juz 2, hal. 264)
Pemegangan (wewenang) barang oleh mu’ir
Akad dianggap sah apabila yang memegang (mempunyai kewenangan) barang adalah mu’ir, seperti halnya dalam hibah. Barang (musta’ar) dapat dimanfaatkan tanpa merusak zatnya. Jika musta’ar tidak bisa dimanfaatkan maka akad tidak sah. (Bada’i ash-Shana’I fi Tartib asy-Syara’I, Alauddin al-Kasani, juz 2, hal. 266). Para ulama menetapkan bahwa ‘ariyah dibolehkan terhadap setiap barang yang dapat diambil manfaatnya dan tanpa merusak zatnya, seperti meminjamkan tanah, pakaian, binatang dan lain-lain. Diharamkan meminjamkan senjata dan kuda kepada musuh. Juga diharamkan meminjamkan Al-Qur’an kepada orang kafir. Juga dilarang meminjamkan alat berburu kepada orang yang sedang ihram. (Mughni al-Muhtaj, Muhammad asy-Syarbini, juz 2, hal. 266)
7. Syarat bagi mu’ir dan musta’ir :
1. Mu’ir sebagai pemilik yang menyerahkan barang
2. Baligh. Maka batal ‘ariyah yang dilakukan oleh anak kecil
3. Berakal. Maka batal ‘ariyah yang dilakukan oleh orang yang tidak waras
4. Orang tersebut tidak di-mahjur (di bawah perlindungan/pengawasan). Maka tidak sah ‘ariyah yang dilakukan di bawah perlindungan, seperti pemboros.
Benda yang diutangkan. Pada rukun ketiga ini disyaratkan 2 hal yaitu :
1. Materi yang dipinjamkan bisa dimanfaatkan. Maka tidak sah ‘ariyah yang materinya tidak dapat digunakan, seperti meminjam karung yang sudah hancur sehingga sudah tidak bisa dimanfaatkan lagi.
2. Pemanfaatan yang dibolehkan. Maka batal ‘ariyah yang pengambilan manfaat materinya dibatalkan oleh syara’, seperti benda-benda najis, syubhat atau haram.
Secara umum, jumhur ulama fikih menyatakan bahwa rukun ‘ariyah ada 4, yaitu :
o Mu’ir (yang meminjamkan)
o Musta’ir (peminjam)
o Mu’ar (barang yang dipinjam)
o Shighat akad (ijab Kabul)
8. Pembayaran Pinjaman
Setiap orang yuang meminjam sesuatu kepada orang lain berarti peminjam memiliki utang kepada yang berpiutang (mu’ir). Setiap utang wajib dibayar sehingga berdosalah orang yang tidak mau membayar utang, bahkan melalaikan pembayaran utang juga termasuk aniaya. Perbuatan aniaya merupakan salah satu perbuatan dosa. Rasulullah saw bersabda :
“Orang kaya yang melalaikan kewajiban membayar utang adalah aniaya” (Riwayat Bukhori dan Muslim)
Melebihkan bayaran dari sejumlah pinjaman diperbolehkan, asal saja kelebihan itu merupakan kemauan dari yang berutang semata. Hal ini menjadi nilai kebaikan bagi yang membayar utang.
Rasulullah saw bersabda :“Sesungguhnya diantara orang yang terbaik dari kamu adalah orang yang sebaik-baiknya dalam membayar utang” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Rasulullah pernah berutang hewan, kemudian beliau membayar hewan itu dengan yang lebih besar dan tua umurnya dari hewan yang beliau pinjam. Kemudian Rasul bersabda :“Orang yang paling baik diantara kamu adalah orang yang dapat membayar utangnya denganyang lebih baik” (Riwayat Ahmad)
Jika penambahan tersebut dikehendaki oleh orang yang berutang atau telah menjadi perjanjian dalam akad perutangan, maka tambahan itu tidak halal bagi yang berpiutang untuk mengambilnya. Rasul bersabda :“Tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat, maka itu adalah salah satu cara dari sekian cara riba” (dikeluarkan oleh Baihaqi)
9. Meminjam Pinjaman dan Menyewakannya
Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa peminjam boleh meminjamkan benda-benda pinjaman kepada orang lain. Sekalipun pemiliknya belum mengizinkannya jika penggunaannya untuk hal-hal yang tidak berlainan dengan tujuan pemakaian pinjaman. Menurut Mazhab Hambali, peminjam boleh memanfaatkan barang pinjaman atau siapa saja yang menggantikan statusnya selama peminjaman berlangsung, kecuali jika barang tersebut disewakan. Haram hukumnya menurut Hambaliyah menyewakan barang pinjaman tanpa seizing pemilik barang.
Jika peminjam suatu benda meminjamkan benda pinjaman tersebut kepada orang lain, kemudian rusak di tangan kedua, maka pemilik berhak meminta jaminan kepada salah seorang diantara keduanya. Dalam keadaan seperti ini, lebih baik pemilik barng meminta jaminan kepada pihak kedua karena dialah yang memegang ketika barang itu rusak.
10. Tanggung Jawab Peminjam
Bila peminjam telah memegang barang-barang pinjaman, kemudian barang tersebut rusak, ia berkewajiban menjaminnya, baik karena pemakaian yang berlebihan maupun karena yang lainnya. Demikian menuru Ibnu Abbas, Aisyah, Anu Hurairah, Syafi’i dan Ishaq dalam hadits yang diriwayatkan oleh Samurah, Rasulullah saw bersabda : “Pemegang berkewajiban menjaga apa yang ia terima, hingga ia mengembalikannya”.
Sementara para pengikut Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa, peminjam tidak berkewajiban menjamin barang pinjamannya, kecuali karena tindakannya yang berlebihan, karena Rasulullah saw bersabda : “Peminjam yang tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerusakan, orang yang dititipi tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerusakan” (dikeluarkan al-Daruqut)
11. Tata Krama Berutang
Ada beberapa hal yang dijadikan penekanan dalam pinjam-meminjam atau utang piutang tentang nilai-nilai sopan-santun yang terkait di dalamnya, ialah sebagai berikut :
1. Sesuai dengan Q.S. Al-Baqarah : 292, uatng-piutang supaya dikuatkan dengan tulisan dari pihak berutang dengan disaksikan dua orang saksi laki-laki atau dengan seorang saksi laki-laki dengan dua orang saksi wanita. Untuk dewasa ini, tulisan tersebut dibuat di atas kertas bersegel atau bermaterai
2. Pinjaman hendaknya dilakukan atas dasar adanya kebutuhan yang mendesak disertai niat dalam hati akan membayarnya / mengembalikannya.
3. Pihak berpiutang hendaknya berniat memberikan pertolongan kepada pihak berutang. Bila yang meminjam tidak mampu mengembalikan, maka yang berpiutang hendaknya membebeaskannya.
4. Pihak yang berutang bila sudah mampu membayar pinjaman, hendaknya dipercepat membayar utangnya karena lalai dalam pembayaran pinjaman berarti berbuat zalim.
DAFTAR PUSTAKA
1. Andri Soemitra,MA. “Bank dan Lembaga Keuangan Syariah”. Jakarta: Kencana 2009 Ed.1 Cet.1
2. Al Jawi, Shiddiq. Kerjasama Bisnis (Syirkah) Dalam Islam. Majalah Al Waie 572.
3. An Nabhani, Taqiyuddin. 1996. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif. Surabaya: Risalah Gusti.
4. Abu Bakr Jabr Al Jazairi, Ensiklopedia Muslim, Minhajul Muslim, Penerbit Buku Islam Kaffah, Edisi Revisi, 2005.
5. Al Fauzan, Saleh.2006.Fiqih Sehari-Hari.Gema Insani:Jakarta.
6. Hasan, M. Ali.2004. Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Fiqh Muamalat).PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta
7. Sudarsono, Heri.2007.Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi.Ekonisia: Yogyakarta
8. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional NO: 62/DSN-MUI/XII/2007
9. Hamid, Samsul Rizal. 2005. Buku Pintar Agama Islam. Jakarta : Cahaya Salam
10. Suhendi, Hendi. 2008. Fiqih Muamalah. Jakarta : RajaGrafindo Persada.
11. http://www.fiqhislam.com/index.php?option=com_content&view=article&id=27530:hukum-judi-dengan-segala-bentuk-dan-ragamnya&catid=159:ekonomi-bisnis-dan-keuangan-syariah&Itemid=197
12. http://alislamu.com/muamalah/11-jual-beli/291-bab-wakalah-pelimpahan-hak.html
13. Al Qur’annul Karim
14. http://www.dirham2dinar.com/index.php?option=com_content&view=article&id=107&Itemid=100
15. Karim, Ir. Adiwarman A. SE.M. BA. MA. EP, 2009, Analisis Fiqih dan Keuangan, Jakarta : Rajawali Pers
16. http://zanikhan.multiply.com/journal/item/3741
17. http://viewislam.wordpress.com/2009/04/16/konsep akad wakalah dlm fiqih muamalah/
18. http://viewislam.wordpress.com/2009/04/16/konsep akad wakalah dlm fiqih muamalah/
19. Ridwan, Ahmad Hasan. 2004. BMT dan Bank Islam. Bandung Pustaka
20. Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah dari Teori ke Praktek. Depok : Gema Insani

Tidak ada komentar:
Posting Komentar